Posted In:
Cuci Mata
.
By AKUUUUUU
Judul: IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani
Penulis: Inu Kencana Syafiie
Penerbit: Progressio (Bandung)
Dimensi: 13,5 x 20,5 cm
Halaman: 282 + xxiv
Sebagai pedoman utama, buku Indonesia apa pun setelah tahun 2003 yang mendompleng istilah "Undercover" pasti kualitasnya buruk. Apalagi ini penggunaan istilah yang keliru. "Undercover" menyiratkan makna bahwa penulis buku ini, Inu Kencana Syafie, menyamar sebagai bagian dari IPDN (dulu STPDN) untuk mengungkap rahasia-rahasia di baliknya. Padahal penulis memang bagian dari institusi yang ia ungkap dan lawan kebobrokannya.,div class="fullpost"> Buku ini sebenarnya autobiografi, yang tadinya mau diubah oleh penerbit karena takut dipertanyakan masyarakat (Pengantar Penerbit, hal. vii). Namun akhirnya dipertahankan karena kualitas tulisan yang bagus. Menurut saya itu pilihan yang bagus. Tapi bukan berarti penerbit jadi melalaikan kerja samanya dengan penulis untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Karena itulah yang saya lihat.
Selain dari judul yang kacangan, suntingannya pun asal. Salah ketik masih bertebaran di mana-mana. Narasi panjang ambigu tidak dipotong dan dijadikan jelas. Kisah-kisah tidak disusun agar menyampaikan inti yang saling mendukung. Sporadis dan asal. Ini menunjukkan bahwa penyunting tidak teliti. Atau terlalu terburu-buru mengejar tenggat penerbitan. Komposisi autobiografi ini pun tidak seimbang. Dari Pengantar Penerbit dan Prakata, saya menyimpulkan bahwa dua misi utama buku ini adalah:
Menunjukkan filosofi hidup penulis sehingga pembaca memahami motivasi penulis mengungkap kebobrokan IPDN.
Menjadi kesaksian kasus-kasus IPDN yang akan terus ada walaupun media dan para tokoh politik tidak lagi tertarik.Dua ratus empat halaman adalah kisah kehidupan penulis. Sementara kasusnya sendiri hanya tujuh puluh halaman. Perbandingannya hampir 3:1, sehingga terlihat misi yang diemban hanyalah yang pertama. Banyak bagian yang sama sekali tidak perlu dan tidak relevan dengan misi kedua. Dengan begini, judul makin keliru. Lebih baik memang berfokus ke--menggunakan kalimat penerbit sendiri--"kisah membentang yang menggambarkan transformasi seorang anak kampung di Sumatera Barat menjadi seorang pendobrak yang mencatatkan diri di bagian sejarah". Orang yang membaca buku ini dengan berharap mendapatkan kesaksian mendetail tentang IPDN akan kecewa. Memang ada kronologis yang lebih lengkap. Termasuk pengungkapan fakta dan kesimpulan penting seperti:
Kematian anak didik IPDN hanyalah sempalan dari kondisi di lapangan. Yang lebih mengerikan adalah kejahatan membudaya para pengasuh dan komisi disiplin yang menjadikan kasus anak didik sebagai ladang uang.
Film adegan pemukulan yang sering ditayangkan di TV-TV swasta sudah mengalami rekayasa citra. Dalam rekaman sebenarnya, setelah adegan itu para "aktor" sama-sama tertawa sambil minum dan makan roti. Karena adegan ini sendiri direkam untuk "gagah-gagahan", agar kelak mereka bisa ngomong ke para junior, "Kami aja sanggup, kenapa kamu nggak?" Namun, adegan tertawa tersebut dihapus. Lalu adegan pemukulan diberi musik latar yang seram. Jadilah tayangan yang membuat orang-orang berang. Intinya, pemukulan memang ada. Dan sebagian besar memang mengerikan. Tetap saja, yang ditayangkan TV adalah manipulasi.Poin-poin tersebut jadi kabur karena tertelan oleh lautan kisah tentang penulis. Kasus Cliff Muntu yang berdasarkan Pengantar Penerbit ditambahkan untuk melengkapi buku pun tidak terlihat. Kronologis masih berhenti pada tahun 2005. Penuturan kasus per kasus pun begitu. Buku ini menjadi autobiografi yang salah kemas. Seharusnya justru dimulai dengan bagian paling akhir, yang menceritakan saat penulis diundang oleh pemilik Joger, Joseph Theodorus Wulianadi. Joseph mengajak para stafnya merenungkan kenapa mereka semua mengundang Pak Inu ke Bali, padahal banyak yang lebih terkenal. Seseorang meneriakkan jawabannya, karena Pak Inu berani seorang diri membongkar skandal STPDN. Joseph mengiyakan dan mengajak, "Sekarang, kita dengarkan ceramahnya. Mengapa keberanian itu muncul?" Inilah inti buku itu. Mengapa keberanian itu muncul. Sama sekali meleset dari judul dan kemasan buku. Jangan baca karena tertarik kisah IPDN, bacalah kalau tertarik kisah seorang pemberani bernama Inu Kencana Syafiie
Menunjukkan filosofi hidup penulis sehingga pembaca memahami motivasi penulis mengungkap kebobrokan IPDN.
Menjadi kesaksian kasus-kasus IPDN yang akan terus ada walaupun media dan para tokoh politik tidak lagi tertarik.Dua ratus empat halaman adalah kisah kehidupan penulis. Sementara kasusnya sendiri hanya tujuh puluh halaman. Perbandingannya hampir 3:1, sehingga terlihat misi yang diemban hanyalah yang pertama. Banyak bagian yang sama sekali tidak perlu dan tidak relevan dengan misi kedua. Dengan begini, judul makin keliru. Lebih baik memang berfokus ke--menggunakan kalimat penerbit sendiri--"kisah membentang yang menggambarkan transformasi seorang anak kampung di Sumatera Barat menjadi seorang pendobrak yang mencatatkan diri di bagian sejarah". Orang yang membaca buku ini dengan berharap mendapatkan kesaksian mendetail tentang IPDN akan kecewa. Memang ada kronologis yang lebih lengkap. Termasuk pengungkapan fakta dan kesimpulan penting seperti:
Kematian anak didik IPDN hanyalah sempalan dari kondisi di lapangan. Yang lebih mengerikan adalah kejahatan membudaya para pengasuh dan komisi disiplin yang menjadikan kasus anak didik sebagai ladang uang.
Film adegan pemukulan yang sering ditayangkan di TV-TV swasta sudah mengalami rekayasa citra. Dalam rekaman sebenarnya, setelah adegan itu para "aktor" sama-sama tertawa sambil minum dan makan roti. Karena adegan ini sendiri direkam untuk "gagah-gagahan", agar kelak mereka bisa ngomong ke para junior, "Kami aja sanggup, kenapa kamu nggak?" Namun, adegan tertawa tersebut dihapus. Lalu adegan pemukulan diberi musik latar yang seram. Jadilah tayangan yang membuat orang-orang berang. Intinya, pemukulan memang ada. Dan sebagian besar memang mengerikan. Tetap saja, yang ditayangkan TV adalah manipulasi.Poin-poin tersebut jadi kabur karena tertelan oleh lautan kisah tentang penulis. Kasus Cliff Muntu yang berdasarkan Pengantar Penerbit ditambahkan untuk melengkapi buku pun tidak terlihat. Kronologis masih berhenti pada tahun 2005. Penuturan kasus per kasus pun begitu. Buku ini menjadi autobiografi yang salah kemas. Seharusnya justru dimulai dengan bagian paling akhir, yang menceritakan saat penulis diundang oleh pemilik Joger, Joseph Theodorus Wulianadi. Joseph mengajak para stafnya merenungkan kenapa mereka semua mengundang Pak Inu ke Bali, padahal banyak yang lebih terkenal. Seseorang meneriakkan jawabannya, karena Pak Inu berani seorang diri membongkar skandal STPDN. Joseph mengiyakan dan mengajak, "Sekarang, kita dengarkan ceramahnya. Mengapa keberanian itu muncul?" Inilah inti buku itu. Mengapa keberanian itu muncul. Sama sekali meleset dari judul dan kemasan buku. Jangan baca karena tertarik kisah IPDN, bacalah kalau tertarik kisah seorang pemberani bernama Inu Kencana Syafiie
0 Responses to
Something to say?